TEMPO.CO, Washington – Otoritas Lebanon memperkirakan ledakan di Beirut merugikan negara itu sekitar US$15 miliar atau sekitar Rp223 triliun.
Saat ini, Lebanon sedang mengalami krisis ekonomi dan gagal bayar utang luar negeri pada Maret 2020. Pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional juga mengalami kebuntuan soal pinjaman utang luar negeri.
Sejumlah bantuan asing datang untuk Lebanon. Namun, pemerintah negara asing menyatakan mereka tidak akan memberikan dana untuk membantu Lebanon ke luar dari kebangkrutan ekonomi tanpa reformasi untuk mengatasi korupsi dan pemborosan dana publik.
“Undersecretary AS untuk Urusan Politik, David Hale, mengatakan Washington akan mendukung pemerintahan baru, yang merefleksikan keinginan rakyat dan melakukan reformasi,” begitu dilansir Reuters, Kamis, 13 Agustus 2020.
Ledakan di Beirut memaksa kabinet Lebanon, yang dipimpin PM Hassan Diab, mundur pada pekan ini.
Demonstran juga telah mendesak agar Presiden Michel Aoun dan ketua parlemen agar ikut mundur.
Mereka berdemonstrasi selama beberapa hari di sekitar lokasi ledakan dan melempari petugas dengan batu.
Pemerintahan caretaker Lebanon terbentuk pada Januari 2020 dengan dukungan dari berbagai partai politik termasuk kelompok Hizbullah, yang memiliki milisi. Bersama sekutunya, kelompok ini memiliki mayoritas kursi di parlemen.
Pemerintah Amerika Serikat memasukkan Hizbullah, yang didukung penuh Iran, sebagai kelompok teroris. Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, tiba di Beirut pada Kamis malam.
Pemerintah mengerahkan aparat keamanan di Beirut pada Kamis untuk mencegah demonstran mendatangi lembaga legislatif.
“Mereka semua kriminal yang telah menyebabkan bencana ini, ledakan ini,” kata Lina Boubess, 60 tahun, salah satu demonstran.
“Tidakkah cukup mereka mencuri uang kami, nyawa kami, mimpi kami, dan mimpi-mimpi anak-anak kami? Kami bisa kehilangan apa lagi,” kata dia.
Parlemen Lebanon telah menyetujui keputusan pemerintah sebelumnya untuk menyatakan negara dalam keadaan darurat. Aktivis menilai penerapan standing ini sebagai upaya untuk menekan protes publik di jalanan. Parlemen juga menyetujui pengunduran diri delapan anggota parlemen pasca ledakan di Beirut.